[Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc. P.hD. – Kepala BMKG]
Pada peringatan Hari Meteorologi Dunia yang ke-70 pada 23 Maret 2020 lalu, tema “Climate And Water” dijadikan sebagai tema internasional. Prof. Karnawati mengatakan bahwa diangkatnya tema tersebut seiring dengan tertujunya mata dunia terhadap isu iklim dan air. Menurut Prof. Karnawati perubahan iklim merupakan perubahan jangka panjang dari distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Bisa diartikan sebagai perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Perubahan iklim dapat terjadi secara lokal, terbatas hingga regional tertentu, atau dapat terjadi di seluruh wilayah permukaan bumi. Perubahan itu ditandai setidaknya oleh empat hal, pertama karena adanya perubahan/kenaikan temperatur secara global, kedua kenaikan tinggi muka air laut, ketiga semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim dan lainnya, dan keempat terjadi perubahan pola curah hujan.
Perubahan iklim saat ini ditandai oleh semakin meningkatnya frekwensi kejadian bencana hidrometeorologis, diantaranya cadangan ketersediaan air yang semakin berkurang dan atau bahkan bisa menyebabkan kelebihan jumlah debit air pada waktu yang lain, serta kebakaran hutan dan lahan. Bencana-bencana hidrometeorologis tersebut berpotensi akan meningkat berdasarkan proyeksi perubahan iklim di masa mendatang, dan dapat berpengaruh pada ketahanan sumberdaya air, pangan, dan energi.
Di Indonesia sendiri, dari data historis curah hujan di Jakarta selama 130 tahun yang dikumpulkan oleh BMKG teridentifikasi adanya trend intensitas dan frekwensi hujan ekstrem yang semakin tinggi (Siswanto et al, 2016), berkorelasi dengan kejadian banjir di Jabodetabek sejak 30 tahun terakhir (Siswanto et al, 2015 dan Siswanto et al, 2017). Intensitas hujan ekstrim harian mencapai rekor baru 377 mm per hari di tahun 2020 ini tercatat di Stasiun Halim Perdana Kusuma (Siswanto et al, 2020). Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Suhu udara di Indonesia pada 30 tahun terakhir naik sekitar 0,1 derajat celsius. Kenaikan tersebut terlihat kecil, namun dunia telah membatasi bahwa sampai tahun 2030 perubahan suhu tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celcius. Sementara itu hingga tahun 2020 ini kenaikan suhu di Indonesia sudah hampir mencapai 1,6 derajat Celsius sejak 1866 (Siswanto et al, 2016). Menghangatnya iklim di Indonesia juga akan disertai dengan musim kemarau yang semakin kering hingga 20 persen di beberapa wilayah Indonesia seperti di Sumatera Selatan, Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu masyarakat harus menyadari Indonesia berlokasi di kawasan cincin api sehingga risiko bencana seperti gempa bumi, tsunami maupun gunung berapi, tanah longsor hingga banjir tidak terhindarkan.
Berbagai tantangan tersebut membutuhkan langkah antisipasi lebih dini agar Indonesia dan dunia mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi secara tepat. Masyarakat bisa ikut berperan dalam mitigasi dengan melakukan hal-hal kecil namun dapat mengurangi emisi gas rumah kaca seperti membatasi penggunaan kendaraan bermotor, mulai beralih ke sarana transportasi umum, menghemat penggunaan listrik dan air, mengurangi penggunaan sampah plastik, dan menanam pohon di lingkungan sekitar.
Gambar 1. Prof. Karnawati saat menjelaskan kepada peserta Sekolah Lapang Iklim tentang proses pengukuruan curah hujan (Sumber: BMKG)
Lebih lanjut, perubahan iklim ini tidak memandang batas territorial dan setiap negara pasti merasakannya. Terobosan dan lompatan inovasi berbasis kepada big data analytics dan artificial intelligent merupakan keniscayaan untuk peningkatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli perlu berfokus pada usaha mengurangi emisi karbondioksida untuk menahan laju kenaikan temperatur global. Namun diperlukan juga pendekatan Inovasi Sosial atau Rekayasa Sosial sebagai upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim ini.
Misalnya, para petani perlu dibekali pengetahuan untuk menahami dan memanfaatkan informasi/ prediksi iklim dan cuaca, guna menyesuaikan waktu, pola dan jenis tanaman yang harus ditanam, agar menghasilkan produk komuditas pangan yang optimal meskipun dilanda berbagai ganguan cuaca. Dengan cara beradaptasi ini, petani dapat juga memutuskan waktu tanam dan waktu panen yang tepat, untuk menghindari gangguan cuaca/ iklim ekstrem.
Hingga saat ini Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (UGRG) UGM telah berusaha berperan aktif dalam riset terkait dengan perubahan iklim, salah satunya melalui studi Konsentrasi CO2 pada Atmosfer Purba dan Laju Akumulasi Karbon Berdasarkan Suksesi Gambut Tropis untuk Rekonstruksi Iklim Purba dan Kaitannya dengan Mitigasi Bencana Akibat Pemanasan Global (Lihat publikasi terkait). Kedepannya UGRG diharapkan dapat mengembangkan riset-riset terkait yang tepat guna demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia.
SUMBER:
- https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=hari-meteorologi-dunia-ke-70-bmkg-mengajak-masyarakat-lebih-tanggap-pada-perubahan-iklim-dan-ketahanan-air&tag=press-release&lang=ID
- https://www.suara.com/news/2020/01/03/170643/bmkg-siklus-hujan-ekstrem-terjadi-lebih-cepat-akibat-perubahan-iklim
- https://news.harianjogja.com/read/2019/07/23/500/1007514/prediksi-bmkg-2030-suhu-di-indonesia-bakal-makin-panas
- Siswanto, G. J. van Oldenborgh, G. van der Schrier, R. Jilderda, B. van den Hurk, Temperature, extreme precipitation, and diurnal rainfall changes in the urbanized Jakarta city during the past 130 years, International Journal of Climatology 36 (2016) 3207–3225. http://dx.doi.org/10.1002/joc.4548.
- Siswanto, G. J. van Oldenborgh, G. van der Schrier, G. Lenderink, B. van den Hurk, Trends in high-daily precipitation events in Jakarta and the flooding of January 2014, Bulletin American Meteorological Society 96 (2015) S131–S135.
- Siswanto, G. van der Schrier, G. J. van Oldenborgh, B. van den Hurk, E. Aldrian, Y. Swarinoto, W. Sulistya, A. E. Sakya, A very unusual precipitation event associated with the 2015 floods in Jakarta: an analysis of the meteorological factors, Weather and Climate Extremes 16 (2017) 23 – 28.
- Siswanto, Andhika H., Yesi U. S., Tamima A., Marjuki, Trihadi E., Nasrullah, Herizal, Extreme Rainfall triggers Jakarta Floods in a Changing Climate Perspective, 2020 (in preparation for publication)
Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc. P.hD
Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc. P.hD, pakar geologi yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Beliau mendapatkan gelar S1 sebagai Sarjana Teknik Geologi dari Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan studi S2 dan S3 pada bidang Engineering Geology, Department of Earth Sciences di Leeds University, Inggris. Beliau mengawali karir di dunia pendidikan sebagai dosen Geologi teknik dan Lingkungan di Departemen Teknik Geologi UGM dan menjabat sebagai rektor wanita pertama di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014-2017.
Prof. Karnawati memiliki pengalaman profesional yang luas dengan latar belakang akademik sebagai profesor Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Beliau sangat aktif dalam mengembangkan Multi Hazard Early Warning System (MHEWS) dan mendapatkan berbagai macam penghargaan dari dalam maupun luar negeri melalui kiprah beliau dalam pengurangan risiko bencana dan sistem peringatan dini.
Sebagai Kepala BMKG, beliau aktif mendorong inovasi pada Teknologi Sistem Peringatan Dini dan Sistem Prakiraan Berbasis Dampak untuk Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, didukung Big Data, Artificial Intelligent (AI), dan Internet of Things (IOT).
Ikuti Kami!