• Tentang UGM
  • Fakultas Teknik
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Fakultas Teknik
Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selamat Datang
    • Sambutan Rektor UGM
    • Perjalanan Kami
    • Pengurus
    • Mitra
    • Peneliti
    • Hubungi Kami
  • Artikel
  • Berita & Acara
  • Penelitian
    • Penelitian Kami
    • Topik Penelitian
    • CCUS
  • Publikasi
    • Paten
    • Jurnal
    • Prosiding Seminar
  • Perspektif
  • EASTEM – UGM
    • UGM
    • EASTEM
    • SGLC-ERIC
      • About SGLC-ERIC
      • Activities
  • Beranda
  • Perspektif
Arsip:

Perspektif

Arah dan Perkembangan Industri Pertambangan Mineral di Indonesia

Perspektif Friday, 20 November 2020

[ Ir. Sukmandaru Prihatmoko, M. Econ. Geol – Ketua IAGI, Director Exploration at PT SJR Pama Group ]

Kebutuhan akan bahan mineral untuk kehidupan manusia terus meningkat. Hal ini sejalan dengan berkembangnya populasi manusia dan perubahan pola kehidupan yang makin berorientasi ke teknologi. Akibatnya peningkatan permintaan pasokan bahan mineral harus diantisipasi, tak terkecuali di Indonesia.

Pertambangan mineral Indonesia telah mengalami pasang surut. Pada era 70-an hingga tahun 1997 pertambangan mineral Indonesia pernah mengalami masa kejayaan sebelum krisis ekonomi melanda. Bahkan sebagian besar sumber daya dan cadangan mineral yang tercatat sekarang diketemukan pada kurun waktu tersebut.

Sementara saat ini situasi eksplorasi dan pengusahaan pertambangan mineral mengalami stagnasi dan bahkan menurun (Gambar 1). Data-data hasil kompilasi IAGI-MGEI menunjukkan bahwa produksi mineral Indonesia cenderung menurun dari tahu ke tahun. Produksi emas menurun dari sekitar 140 ton di 2001 menjadi sekitar 75 ton di 2014. Demikian juga produksi tembaga dari 1,1 juta ton di 2002 menjadi sekitar 400.000 ton di 2014.

        Berbagai hal baik teknis maupun non teknis membelit sektor ini. Faktor-faktor teknis yang berpengaruh signifikan antara lain:

  • Daerah eksplorasi yang semakin “matured” sehingga target eksplorasi makin dalam atau berada di bawah batuan penutup
  • Pergeseran tipe eksplorasi dari “green field” ke “brown field” karena terbatasnya wilayah eksplorasi yang menyebabkan tingkat kesulitan bertambah, dan rasio sukses discovery makin kecil
  • Target “unconventional resources” belum dikembangkan dengan baik, dan perlu didorong dengan berbagai cara dan pendekatan.

Dari sisi geologi, potensi mineral Indonesia masih sangat terbuka. Posisi tektonik dan geologi Indonesia menjadi salah satu sebab terbentuknya beragam tipe deposit mineral. Dari tipe porfiri dan epitermal sepanjang busur magmatik untuk komoditi emas-tembaga-perak, juga tipe laterit di zona pelapukan batuan ofiolit untuk komoditi nikel, kobalt dan krom, hingga potensi deposit-deposit “dalam” dan/ atau “tertutup batuan muda” (deeper target and target under cover). Belum lagi tipe-tipe sumberdaya unconventional yang belum banyak digarap di Indonesia seperti halnya orogenic gold, sulfida nikel, sedimentary hosted base metals, logam tanah jarang, dan lain-lain. Target ini masih terbuka kesempatannya untuk dieksplorasi.

Kekayaan mineral Indonesia baik yang sudah diidentifikasi sebagai daerah prospek dan tambang maupun potensi yang belum tereksplorasi, merupakan potensi sumber pendapatan negara dan sebagian (untuk mineral tertentu) memiliki potensi menjadi pendorong pengembangan energi alternatif yang sangat dibutuhkan saat ini. Pemerintah bertugas mengelola sumber daya tersebut agar memberikan manfaat optimal untuk kesejahteraan rakyat. Sementara tugas stakeholders adalah mendorong dan memperkuat agar sumber daya kebumian dapat menjadi modal strategis dalam membangun ketahanan dan kedaulatan negara.

Menimbang pentingnya pengelolaan sumber daya dan pengusahaan pertambangan mineral di Indonesia, beberapa hal berkaitan dengan perbaikan pengelolaan minerba nasional harus dilaksanakan. Salah satunya adalah inventori sumber daya minerba secara komprehensif. Semua otoritas sumber data harus dilibatkan baik dari pemerintah seperti Badan Geologi, Ditjen Minerba, Lembaga Penelitian seperti LIPI, dan lembaga penelitian pada tingkat perguruan tinggi seperti Pusat Kajian Sumber Daya Bumi Non-Konvensional (atau disebut juga Unconventional Geo-Resources Research Grooup – UGRG), maupun sektor swasta seperti perusahaan eksplorasi dan tambang. Inventori tersebut harus dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah dan kode-kode pelaporan yang berlaku (SNI dan Kode KCMI).

Selain itu, demi menjaga neraca sumber daya minerba tetap positif, eksplorasi harus didorong dan dijaga kesinambungannya. Implementasi kalimat “exploration is the future” (eksplorasi adalah masa depan) dengan tujuan eksplorasi yang paling esensial sebagai inventori, harus selalu digalakkan sehingga negara dapat mengatur strategi pemanfaatannya di masa depan. Hasil eksplorasi berupa discovery maupun data-data teknis kebumian memiliki banyak manfaat, mulai dari menyusun inventori kekayaan negara dan strategi pemanfaatannya, melakukan pengusahaan atau produksi, menaikkan pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja serta pengembangan energi alternatif.

Salah satu cara menggalakkan eksplorasi yang mati suri adalah dengan mempercepat dan menderegulasi pembukaan wilayah eksplorasi baru. Sudah saatnya pemerintah mengandalkan bahan galian disamping sumber daya minyak bumi dan gas alam. Pemerintah dapat merencanakan penggunaan sumber daya mineral yang diprioritaskan untuk kepentingan industri dalam negeri sehingga dapat mengurangi ekspor sumber daya dalam bentuk bahan mentah sehingga tercipta sinergi dengan kebutuhan dalam negeri dan mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi nasional. Perkembangan teknologi untuk kehidupan manusia memerlukan makin banyak pasokan mineral baik dari segi kuantitas maupun jenis unsurnya di antaranya logam tanah jarang (rare earth elements/ REE) dan juga “critical raw materials/ CRM” yang lain. Upaya ke arah penggalakan eksplorasi REE dan CRM sangat mendesak untuk dijalankan.

New Sources of Minerals and Metals as Raw Materials to Support Clean and High-Tech Industries

Perspektif Monday, 16 November 2020

[ Dr. Raden Sukhyar – Founder of Center for Mineral and Metal Industry studies, Director General of Mineral and Coal Mining (2013-2015) ]

I wish to congratulate the Unconventional Geo-Resources Research Group, Gadjah Mada University, that was just founded. This establishment is in line with the need to respond the current rise of global demand of certain materials. Currently there is a growing concern in many countries to search new sources of minerals and metals as raw materials to support clean and high-tech industries. Developed countries such EU countries and USA have demonstrated their concern on specific materials what is called critical materials. They worry of supply disruption to their strategic industries that may harm their economy. This condition leads to tight competition among countries to meet their demands. Besides, recently World Economic Forum introduced what is so called Circular Economy, which sees that materials will never pose their ending use. Thus, there is no terminology of wastes anymore, they can be reprocessed and reused, this is in the same time as measure to overcome the increasing material demand.  Indonesia also indicates some minerals and metal are essential to the industries such as iron, aluminium, copper, nickel, cobalt and rare earth elements (REE) which are included in the master plan of national industry for the year 2015-2035 (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional,  RIPIN 2015-2035), and additionally elements of chromium, manganese, titanium, vanadium, stibium and molybdenum which are required for the defence industry.

There are two type of unconventional resources. The first is primary resources that is very rarely exploited for commercial purposes and some resource types are quite new sources such Li and B in active geothermal brines and from oil and gas brine water, REE in soil, coal and bauxites, or accompanying minerals such as titanium and REE in tin sands. The second is that is contained in residues of industries which are resulted from processing of primary resource, such as REE, titanium, iron, and vanadium from red muds as the residues from Bayer’s process of bauxite into alumina, and also REE, niobium, wolfram and titanium from tin slags. Not to mention many other examples are as the opportunity.

Eventually I support this research group, the challenges are enormous and these all are the opportunity for innovation.

Unconventional Resources: Transition Energy and Window to Earth’s Past

Perspektif Wednesday, 16 September 2020

[Tim A. Moore, Ph.D – Professional Expert in Unconventional Energy]

It is widely recognised that we live in the hydrocarbon age. Coal ignited the industrial revolution in the 1800s and with the discovery of liquid petroleum, oil allowed mass transport to be affordable and provided electricity to millions of homes. Lately, natural gas has gained prominence in response to climate change.

Exploration of liquid and gaseous hydrocarbons, in particular, has moved from easier, ‘conventional’, targets such as porous and permeable sandstone reservoirs in anticlines (Fig. 1) to ‘unconventional’ units that are distinctly less permeable and require innovative approaches to access hydrocarbons economically.

The unconventional units yield primarily gas from coal, shale and tight sandstone lithologies. In a world attempting to decarbonise, natural gas is seen as a transition energy source as renewables are developed and become more affordable.

Figure 1. Schematic of conventional and unconventional hydrocarbon deposits (Charpentier & Ahlbrant, 2003).

It is hard to overstate how important unconventional gas will be over the next few decades. Unlocking these deposits, however, is a different story. Indonesia is in a unique position, with extensive unconventional coal seam gas and shale gas deposits. But to develop these resources will require research by industry, academics and governmental institutions. Without these collaborations, the gas will remain in the ground and more carbon intensive and polluting sources will be used to power the ever-increasing standard of living of a growing population. Ultimately, leadership must come from governments.

Even if the world transitioned to 100% renewables today, study of hydrocarbons should not cease. These hydrocarbons, especially those organics from non-marine, terrestrial plant sources, are incredibly useful proxies to the Earth’s past.

Fundamentally, organics from plants use the sun’s energy to drive photosynthesis, which in turn creates large molecular structures made up of C, H, O, and N. When these organics get buried they preserve clues to the past. Unlocking these clues, and thus an understanding of events in deep time (Fig. 2), is critical for our human endeavours. Lets remember, the truth is out there, and it’s probably in the organics!

Figure 2: Some of the things organic material can tell us about Earth’s past.

A Hidden Treasure – Rare Earth Elements In Coal

Perspektif Wednesday, 15 July 2020

[Dr. Siti Sumilah Rita Susilawati – Coal Geologist, Head of Coal Division, PSDMBP]

Seiring dengan berkembangnya peradaban dan teknologi yang pesat dewasa ini, kebutuhan akan energi ramah lingkungan (green energy) menjadi penting guna mengurangi penggunaan energi emisi karbon (CO2) yang tinggi. Tren terbaru dalam pengembangan energi dan industri yang ramah lingkungan adalah menggunakan mineral/valuable elements sebagai bahan baku sumber energi. Salah satu mineral yang bisa digunakan adalah rare earth elements (REE) atau unsur tanah jarang (UTJ).

REE adalah unsur penting yang digunakan pada berbagai produk yang kita gunakan sehari-hari seperti telepon seluler, hard drive, lensa kamera, microwave, peralatan medis, persenjataan canggih maupun berbagai produk teknologi tinggi lainnya. REE adalah 17 unsur dalam kerak bumi yang terdiri dari 15 unsur logam lantanida (La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Lu) ditambah scandium dan yttrium. REE ini umumnya dijumpai dalam beberapa mineral seperti monasit, xenotime, dan bastnaesite. Namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa batubara pun dapat mengandung REE dengan kadar setara dengan kadar REE yang ditemukan pada mineral pembawa REE (Baca juga artikel: Limbah Padat Pembakaran Batubara: Potensi Sumber Daya Non-Konvensional di Masa Depan?).

Batubara terdiri dari komponen organik dan non organik. Keberadaan REE pada batubara berasosiasi dengan komponen non organiknya. Proses pembakaran batubara di PLTU akan menghilangkan komponen organik dan menyisakan komponen non organik. Proses ini dapat mengakibatkan pengkayaan kandungan REE pada abu hasil pembakaran batubara. Kadar REE dalam fly ash batubara diindikasikan 10 kali lebih besar dibandingkan di dalam batubara itu sendiri (Seredin dan Finkelman, 2008).  Di Indonesia, penelitian terhadap REE dalam batubara masih sangat terbatas. Penelitian yang  dilakukan terhadap  batubara Bangko Sumatra Selatan menunjukkan bahwa batubara tersebut memiliki kadar REE sebesar 2,4 hingga 118,4 ppm (Anggara, dkk, 2018). Dengan asumsi kadar REE dalam  fly ash 10 kali lipat kadar REE dalam batubara, maka potensi REE dalam fly ash batubara Bangko diperkirakan bisa mencapai sekitar 1000 ppm, jumlah yang cukup besar dan menjanjikan  untuk diekstrak secara komersial. Selain itu, proses ekstraksi REE dari fly ash batubara bisa meningkatkan nilai tambah batubara.

Ektraksi REE dari FABA merupakan salah satu program hilirisasi yang saat ini menjadi program nasional Pusat Sumberdaya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Untuk mewujudkan hal tersebut, saat ini PSDMBP tengah melakukan studi terkait potensi REE dalam batubara Indonesia. Studi dilakukan bekerjasama dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (atau juga disebut Unconventional Geo-Resources Research Group – UGRG UGM). Hasil studi diharapkan dapat mengungkap potensi REE dalam batubara Indonesia serta membuka peluang peningkatan nilai tambah batubara, dan peningkatan pendapatan negara melalui produksi REE dari batubara Indonesia. Lebih jauh, produksi REE juga berarti membuka peluang berdirinya berbagai industri modern di Indonesia yang artinya juga membuka banyak lapangan kerja baru.

 

Gambar 1. Gambaran REE di batubara sebagai hidden treasure yang dimiliki oleh bangsa Indonesia (psdg.bgl.esdm.go.id)

PSDMBP berharap semoga dengan pembentukan UGRG dan semakin banyaknya penelitian mengenai hilirisasi batubara, dapat memberikan kontribusi terhadap pengungkapan potensi batubara Indonesia untuk hilirisasi agar segera terealisasi secara terarah dan efektif serta menghasilkan produk yang signifikan yang bisa segera diaplikasikan.

“To sum up, for Indonesia, REE in coal is a hidden treasure and our job is to take this treasure out of its hideaway”. Sumber:

  • geologi.ugm.ac.id. (2020, 23 Juni). Focus Group Discussion Potensi Hilirisasi Batubara, Diakses pada 23 Juni 2020, dari https://geologi.ugm.ac.id/focus-group-discussion-potensi-hilirisasi-batubara/
  • psdg.bgl.esdm.go.id. (2020, 23 Juni). A Hidden Treasure – Rare Earth Elements In Coal. Diakses pada 23 Juni 2020, dari http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1215&Itemid=610
  • psdg.bgl.esdm.go.id. (2020, 23 Juni). Bidang Mineral / REE. Diakses pada 23 Juni 2020, Diakses pada 23 Juni 2020, dari http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1280&Itemid=610

Pentingnya Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

Perspektif Wednesday, 10 June 2020

[Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc. P.hD. – Kepala BMKG]

Pada peringatan Hari Meteorologi Dunia yang ke-70 pada 23 Maret 2020 lalu, tema “Climate And Water” dijadikan sebagai tema internasional. Prof. Karnawati mengatakan bahwa diangkatnya tema tersebut seiring dengan tertujunya mata dunia terhadap isu iklim dan air. Menurut Prof. Karnawati perubahan iklim merupakan perubahan jangka panjang dari distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Bisa diartikan sebagai perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Perubahan iklim dapat terjadi secara lokal, terbatas hingga regional tertentu, atau dapat terjadi di seluruh wilayah permukaan bumi. Perubahan itu ditandai setidaknya oleh empat hal, pertama karena adanya perubahan/kenaikan temperatur secara global, kedua kenaikan tinggi muka air laut, ketiga semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim dan lainnya, dan keempat terjadi perubahan pola curah hujan.

Perubahan iklim saat ini ditandai oleh semakin meningkatnya frekwensi kejadian bencana hidrometeorologis, diantaranya cadangan ketersediaan air yang semakin berkurang dan atau bahkan bisa menyebabkan kelebihan jumlah debit air pada waktu yang lain, serta kebakaran hutan dan lahan. Bencana-bencana hidrometeorologis tersebut berpotensi akan meningkat berdasarkan proyeksi perubahan iklim di masa mendatang, dan dapat berpengaruh pada ketahanan sumberdaya air, pangan, dan energi.

Di Indonesia sendiri, dari data historis curah hujan di Jakarta selama 130 tahun yang dikumpulkan oleh BMKG teridentifikasi adanya trend intensitas dan frekwensi hujan ekstrem yang semakin tinggi (Siswanto et al, 2016), berkorelasi dengan kejadian banjir di Jabodetabek sejak 30 tahun terakhir (Siswanto et al, 2015 dan Siswanto et al, 2017). Intensitas hujan ekstrim harian mencapai rekor baru 377 mm per hari di tahun 2020 ini tercatat di Stasiun Halim Perdana Kusuma (Siswanto et al, 2020). Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Suhu udara di Indonesia pada 30 tahun terakhir naik sekitar 0,1 derajat celsius. Kenaikan tersebut terlihat kecil, namun dunia telah membatasi bahwa sampai tahun 2030 perubahan suhu tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celcius. Sementara itu hingga tahun 2020 ini kenaikan suhu di Indonesia sudah hampir mencapai 1,6 derajat Celsius sejak 1866 (Siswanto et al, 2016). Menghangatnya iklim di Indonesia juga akan disertai dengan musim kemarau yang semakin kering hingga 20 persen di beberapa wilayah Indonesia seperti di Sumatera Selatan, Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu masyarakat harus menyadari Indonesia berlokasi di kawasan cincin api sehingga risiko bencana seperti gempa bumi, tsunami maupun gunung berapi, tanah longsor hingga banjir tidak terhindarkan.

Berbagai tantangan tersebut membutuhkan langkah antisipasi lebih dini agar Indonesia dan dunia mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi secara tepat. Masyarakat bisa ikut berperan dalam mitigasi dengan melakukan hal-hal kecil namun dapat mengurangi emisi gas rumah kaca seperti membatasi penggunaan kendaraan bermotor, mulai beralih ke sarana transportasi umum, menghemat penggunaan listrik dan air, mengurangi penggunaan sampah plastik, dan menanam pohon di lingkungan sekitar.

Gambar 1. Prof. Karnawati saat menjelaskan kepada peserta Sekolah Lapang Iklim tentang proses pengukuruan curah hujan (Sumber: BMKG)

Lebih lanjut, perubahan iklim ini tidak memandang batas territorial dan setiap negara pasti merasakannya. Terobosan dan lompatan inovasi berbasis kepada big data analytics dan artificial intelligent merupakan keniscayaan untuk peningkatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli perlu berfokus pada usaha mengurangi emisi karbondioksida untuk menahan laju kenaikan temperatur global. Namun diperlukan juga pendekatan Inovasi Sosial atau Rekayasa Sosial sebagai upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim ini.

Misalnya, para petani perlu dibekali pengetahuan untuk menahami dan memanfaatkan informasi/ prediksi iklim dan cuaca, guna menyesuaikan waktu, pola dan jenis tanaman yang harus ditanam, agar menghasilkan produk komuditas pangan yang optimal meskipun dilanda berbagai ganguan cuaca. Dengan cara beradaptasi ini, petani dapat juga memutuskan waktu tanam dan waktu panen yang tepat, untuk menghindari gangguan cuaca/ iklim ekstrem.

Hingga saat ini Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (UGRG) UGM telah berusaha berperan aktif dalam riset terkait dengan perubahan iklim, salah satunya melalui studi Konsentrasi CO2 pada Atmosfer Purba dan Laju Akumulasi Karbon Berdasarkan Suksesi Gambut Tropis untuk Rekonstruksi Iklim Purba dan Kaitannya dengan Mitigasi Bencana Akibat Pemanasan Global (Lihat publikasi terkait). Kedepannya UGRG diharapkan dapat mengembangkan riset-riset terkait yang tepat guna demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia.

  SUMBER:

  • https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=hari-meteorologi-dunia-ke-70-bmkg-mengajak-masyarakat-lebih-tanggap-pada-perubahan-iklim-dan-ketahanan-air&tag=press-release&lang=ID
  • https://www.suara.com/news/2020/01/03/170643/bmkg-siklus-hujan-ekstrem-terjadi-lebih-cepat-akibat-perubahan-iklim
  • https://news.harianjogja.com/read/2019/07/23/500/1007514/prediksi-bmkg-2030-suhu-di-indonesia-bakal-makin-panas
  • Siswanto, G. J. van Oldenborgh, G. van der Schrier, R. Jilderda, B. van den Hurk, Temperature, extreme precipitation, and diurnal rainfall changes in the urbanized Jakarta city during the past 130 years, International Journal of Climatology 36 (2016) 3207–3225. http://dx.doi.org/10.1002/joc.4548.
  • Siswanto, G. J. van Oldenborgh, G. van der Schrier, G. Lenderink, B. van den Hurk, Trends in high-daily precipitation events in Jakarta and the flooding of January 2014, Bulletin American Meteorological Society 96 (2015) S131–S135.
  • Siswanto, G. van der Schrier, G. J. van Oldenborgh, B. van den Hurk, E. Aldrian, Y. Swarinoto, W. Sulistya, A. E. Sakya, A very unusual precipitation event associated with the 2015 floods in Jakarta: an analysis of the meteorological factors, Weather and Climate Extremes 16 (2017) 23 – 28.
  • Siswanto, Andhika H., Yesi U. S., Tamima A., Marjuki, Trihadi E., Nasrullah, Herizal, Extreme Rainfall triggers Jakarta Floods in a Changing Climate Perspective, 2020 (in preparation for publication)

The Future of Coal in Global Green Energy Environment

Perspektif Sunday, 17 May 2020

[Dr. Ferian Anggara – Dosen Teknik Geologi & Ketua UGRG FT di UGM]

Masihkah batubara dibutuhkan dalam 50 tahun ke depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu cek kembali Bauran Energi Indonesia yang tertuang dalam Perpres No. 22 Tahun 2017. Berdasarkan Perpres tersebut, Indonesia masih bergantung pada Batubara sebesar 30 % sampai dengan tahun 2025 dan 25 % sampai dengan tahun 2050. Belum lagi jika kita melihat lebih mendalam lagi terkait dengan definisi “New and Renewable Energy” dalam Perpres tersebut, maka proporsi penggunaan batubara akan lebih besar lagi.

Selanjutnya, langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk tetap menggunakan batubara sebagai salah satu sumber energi utama di Indonesia dan di waktu yang bersamaan tetap dapat mengikuti perkembangan global menuju penggunaan energi yang ramah lingkungan?

Salah satu yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (UGRG) ini adalah melakukan riset-riset terkait dengan pemanfaatan batubara yang tidak hanya sebagai komoditas, tapi dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumber energi non-konvensional seperti Coal Bed Methane (CBM), Coal Gasification dan produk turanan lainnya yang dapat diakses pada link publikasi (Jurnal & Prosiding). 

Selain itu, batubara yang saat ini digunakan sebagai sumber pembangkit listrik utama di Indonesia juga memberikan peluang dan tantangannya sendiri terkait dengan penanganan limbah hasil pembakarannya (selanjutnya disebut Fly Ash dan Bottom Ash – FABA). FABA telah lama dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan, seperti sebagai campuran semen dan beton. Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh UGRG menunjukan bahwa FABA juga dapat menghasilkan geopolymer, logam tanah jarang/REE, carbon nanotubes, chenosphere, dan material hasil green transmutation lainnya. Lebih detil terkait dengan pemanfaatan FABA secara komprehensif ini dapat diakses pada tautan berikut (Topik Penelitian).

Sebagai penutup, saya ingin mengutip tulisan Seredin dan Dai (2012) dengan sedikit modifikasi: “Identification of valuable elements resources during coal exploitation and utilization may not only increase beneficiation of coal deposits themselves but also will promote humanity’s further movement on the green road”

Can coal really be green?

Berita Terakhir

  • 8 Peneliti dari 4 Negara Jalani Kolaborasi Riset dengan Tim Peneliti UGRG, UGM terkait Studi Variabilitas Gambut di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah
    January 31, 2025
  • Published Article: Characterization and mode of occurrence of rare earth elements and yttrium in fly and bottom ash from coal-fired power plants in Java, Indonesia
    April 2, 2022
  • Mahasiswa UGM Raih Juara 1 pada Young Scientist Symposium Visions For The Future Of Geoscience
    April 1, 2022
  • Focus Group Discussion: Review dan Evaluasi Rencana Jangka Panjang PT. Bukit Asam Tbk
    March 25, 2022
  • Fieldwork: Potensi Critical Elements pada Batubara di Kalimantan Selatan
    March 25, 2022
Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada
Fakultas Teknik

© Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional, Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY