Silica scaling yang menyebabkan penyumbatan pada pipa industri geothermal ternyata kaya terhadap silika amorphous yang dapat disintesis menjadi berbagai material
Pembangkit listrik tenaga geothermal (PLTG) merupakan sumber energi listrik yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi berupa gas rumah kaca yang rendah. Pembangkit listrik tenaga geothermal yang beroperasi di Indonesia memiliki kapasitas sebesar 1.925 MW, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Pipa yang digunakan untuk memompa air reservoir geothermal ke permukaan bernama pipa upstream. Alat ini dapat tersumbat akibat adanya kandungan silika dari reservoir geothermal yang menumpuk pada dinding pipa yang dinamakan silica scaling. Pada PT Geodipa Dieng, pipa upstream melalui maintenance selama 6 bulan sekali karena silica scaling menurunkan performa pipa hingga tidak dapat memenuhi spesifikasi proses. Silika dikeruk dari pipa, kemudian dibuang ke TPA. Lama kelamaan silika akan memenuhi TPA. Bagaimanakan solusi untuk limbah silika tersebut?
Analisis menunjukkan bahwa silica scaling mengandung silika dengan fase amorphous sebesar 90-98% (Jenie dkk, 2018). Jenis molekul silika yang amorphous menyebabkan silika dapat dimodifikasi dengan mudah baik melalui proses fisika dan kimia, sehingga terdapat berbagai potensi produk berbasis silika yang dapat dibuat.
Silika sebagai geopolimer
Pabrik semen konvensional atau OPC (Ordinary Portland Cement) menghasilkan emisi CO2 sebanyak 1,5 miliar ton dan terus meningkat setiap tahunnya (Andrew dkk, 2017). Geopolimer adalah material alternatif OPC yang tersusun dari polimer aluminosilikat anorganik berasal dari bahan baku kaya akan silika dan alumina. Terdapat dua metode pembuatan geopolimerisasi yaitu, metode basah (wet) dan kering (dry). Reaksi geopolimerisasi melibatkan bahan aluminosilikat yang membentuk ikatan oligomer berupa Si-O-Al-O akibat proses pencampuran dengan aktivator.
Larutan aktivator yang biasa digunakan dalam pembuatan geopolimer adalah NaOH dan silika yang kemudian dicampurkan ke dalam bahan yang kaya akan silika dan alumina, seperti spent catalyst dan fly ash pembakaran batu bara. Pada proses wet, aktivatornya memiliki fase cair seperti larutan NaOH dan Na2SiO3 (natrium silikat). Sedangkan pada proses dry¸ aktivatornya berupa fase padat seperti serbuk NaOH dan serbuk silika.
Silika fase amorphous lebih mudah dimodifikasi daripada fase crystalline karena jarak antar atomnya lebih besar, gaya antar molekulnya tidak seragam, dan lebih lunak sehingga mudah dihancurkan. Hal ini menyebabkan silika amorphous pada silica scaling dapat digunakan sebagai aktivator pada beton geopolimer.
Tahap pertama pada pembuatan geopolimer adalah preparasi bahan. Hasil pengerukan silica scaling dikeringkan untuk mendapatkan serbuk silika, lalu dicuci dengan asam dan air untuk menghilangkan partikel pengotor, kemudian dikeringkan lagi. Bahan aluminosilikat, silika, dan serbuk NaOH dihaluskan hingga berukuran 100 mesh. NaOH dan silika dicampur dan dimasukkan ke dalam furnace, sehingga terbentuk aktivator.
Aktivator dan bahan aluminosilikat dimasukkan ke dalam cetakan, lalu diberikan air hingga memenuhi cetakan geopolimer. Tunggu beberapa saat hingga kering, lalu geopolimer diangkat dan dicek daya kuat tekannya (compressive strength). Pada penelitian yang dilakukan tim UGRG, dilakukan variasi terhadap rasio bahan aluminosilikat dengan aktivator, lama waktu pengeringan, dan suhu pengeringan untuk mencari geopolimer dengan daya kuat tekan terbesar.
Rekayasa Jaringan
Tulang memiliki peran penting pada manusia, menjadi kerangka bentuk tubuh dan mendukung gerakan serta fleksibilitas. Kecelakaan dapat memberikan kerusakan pada tulang, seperti patah tulang. Seiring bertambahnya usia, tulang menjadi lebih rentan patah. Permintaan untuk perbaikan tulang akan meningkat pada masyarakat yang mengalami peningkatan pada populasi orang usia tua seperti Indonesia.
Saat ini, kerusakan terutama diperbaiki dengan menggunakan teknik autograft dan allograft (Venkantensan dkk, 2015). Namun, perawatan tersebut memiliki banyak kelemahan seperti jangkauan jaringan yang dapat disembuhkan terbatas, penolakan oleh sistem kekebalan tubuh dan kemungkinan penularan penyakit (Allison dkk, 2013)
Rekayasa jaringan telah menarik perhatian para peneliti, termasuk tim peneliti UGRG sebagai metode alternatif untuk mengatasi keterbatasan perawatan tulang konvensional. Melalui interaksi antara sel dan scaffold (perancah), sel-sel yang baru menggantikan sel-sel yang rusak sehingga mendorong regenerasi sistem jaringan. Setelah berfungsi sebagai tempat untuk mendorong pertumbuhan dan diferensiasi sel, scaffold harus terlepas atau hancur agar tidak mengganggu proses regenerasi (Loh dkk, 2013)
Peneliti UGRG memanfaatkan campuran kitosan, alginat, dan silika sebagai biokomposit penyusun scaffold. Sumber kitosan didapatkan dari cangkang hewan krustasea seperti udang dan kepiting, sedangkan silika berasal dari silica scaling pada pipa upstream geothermal.
Nanopartikel Silika
Silika fase amorphous dari silica scaling dapat dibentuk menjadi nanopartikel dengan kondisi operasi yang lebih rendah dan aman dibandingkan fase kristalin. Nanopartikel silika dapat ditambahkan sifat fluoresens (berpendar) sehingga menjadi material FSNP (Fluorescent Silica Nanoparticle). FSNP telah dipelajari secara intensif untuk sensor, pencitraan, dan material forensik selama dekade terakhir karena memiliki sifat unggul seperti peningkatan rasio signal-to-noise (Cho dkk, 2011), sinar yang stabil dan tahan lama (Cho dkk, 2010), luas permukaan tinggi, kemampuan untuk mengikat biomolekul, serta toksisitas rendah (Qhobosheane dkk, 2001).
Peneliti UGRG memanfaatkan nanopartikel silika sebagai metode pendeteksi sidik jari berbasis fluoresen. Keunggulan metode ini adalah dapat mendeteksi sidik jari yang sudah pudar dari TKP yang memiliki pencahayaan buruk. Sifat fisis dan kimia FSNP yang dianalisis adalah struktur molekul, struktur kristal, specific surface area, volume pori, morfologi permukaan partikel, dan transmitansi cahaya.
Sumber
Andrew, R. M. (2018). Global CO2 Emissions from Cement Production, 1928-2017. Oslo: CICERO Center for International Climate Research.
Aisyiyah Jenie, S. N. et al. (2020) ‘Geothermal silica-based fluorescent nanoparticles for the visualization of latent fingerprints’, Materials Express, 10(2), pp. 258–266. doi: 10.1166/mex.2020.1551.
Allison, D.C.; McIntyre, J.A.; Ferro, A.; Brien, E.; and Menendez, L.R. (2013). Bone grafting alternatives for cavitary defects in children. Current Orthopaedic Practice, 24(3), 267-279.
Cho, E.-B., Volkov, D.O. and Sokolov, I., 2010. Ultrabright fluorescent mesoporous silica nanoparticles. Small, 6(20), pp.2314–9.
Cho, E.-B., Volkov, D.O. and Sokolov, I., 2011. Ultrabright fluorescent silica mesoporous silica nanoparticles: Control of particle size and dye loading. Advanced Functional Materials, 21(16), pp.3129–35.
Kusumastuti, Y. et al. (2017) ‘Synthesis and characterization of biocomposites based on chitosan and geothermal silica’, AIP Conference Proceedings, 1823(March 2017). doi: 10.1063/1.4978200.
Jenie, S. N. A. et al. (2018) ‘Preparation of silica nanoparticles from geothermal sludge via sol-gel method’, AIP Conference Proceedings, 2026, pp. 1–6. doi: 10.1063/1.5064968.
Kusumastuti, Y. et al. (2018) ‘Characterization of three dimensional scaffolds from local chitosan/alginate/geothermal silica for potential tissue engineering applications’, Journal of Engineering Science and Technology, 13(11), pp. 3500–3515.
Loh, Q.L.; and Choong C. (2013). Three-dimensional scaffolds for tissue engineering applications: role of porosity and pore size. Tissue Engineering Part B: Reviews, 19(6), 485-502.
Qhobosheane, M., Santra, S., Zhang, P. and Tan, W., 2001.Biochemically functionalized silica nanoparticles. Analyst, 126(8), pp.1274–8.
.
Venkatesan, J.; Bhatnagar, I.; Manivasagan, P.; Kang, K.H.; and Kim S.K. (2015). Alginate composites for bone tissue engineering: A review. International Journal of Biological Macromolecules, 72, 269-281.
Mahasiswa di jurusan teknik kimia, Universitas Gadjah Mada
Ikuti Kami!